Jauhilah Syubhat

Apa itu Syubhat? Dan Bagaimana Cara untuk Menjauhinya?

Kitabul Jaami’ dari Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqalani بَابُ الزُّهْدِ وَالوَرَعِ Bab Zuhud dan Wara’

Hadits #1477 عَنْ اَلنُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ- وَأَهْوَى اَلنُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ: – إِنَّ اَلْحَلَالَ بَيِّنٌ, وَإِنَّ اَلْحَرَامَ بَيِّنٌ, وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ, لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ اَلنَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى اَلشُّبُهَاتِ, فَقَدِ اِسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ, وَمَنْ وَقَعَ فِي اَلشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي اَلْحَرَامِِ, كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ اَلْحِمَى, يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيهِ, أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى, أَلَا وَإِنَّ حِمَى اَللَّهِ مَحَارِمُهُ, أَلَا وَإِنَّ فِي اَلْجَسَدِ مُضْغَةً, إِذَا صَلَحَتْ, صَلَحَ اَلْجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ اَلْجَسَدُ كُلُّهُ, أَلَا وَهِيَ اَلْقَلْبُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dan Nu’man memasukkan jarinya ke dalam dua telinganya, ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat–yang masih samar–yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati (jantung).’”1

Faedah dari hadits

Pertama: Dalam hadits disebutkan bahwa An-Nu’man memasukkan jari ke dalam kedua telinganya (Imam Muslim bersendirian dalam menyebutkan hal ini), ini menunjukkan bahwa ia mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini sebagai sanggahan kepada Al-Waaqidi dan yang mengikuti pendapatnya yang menyatakan bahwa An-Nu’man tidak pernah mendengar langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena An-Nu’man umurnya delapan tahun ketika wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini juga jadi dalil bahwa anak mumayyiz (yang sudah tamyiz, meskipun belum baligh), mendengar hadits (hamlul hadits) di usia kecil lalu menyampaikan hadits (addal hadits) ketika sudah berusia baligh, maka haditsnya diterima.

Kedua: Yang halal itu jelas maksudnya tidak butuh penjelasan, semua mengenalnya, di mana sudah dinashkan oleh Allah dan Rasul-Nya akan halalnya atau sudah ada ijmak kaum muslimin tentang halalnya. Contohnya, firman Allah “Wa ahallallahul bai’a” dalam surah Al-Baqarah ayat 275, yaitu Allah menghalalkan jual beli. Termasuk juga makanan, minuman, pakaian yang telah diketahui halalnya oleh orang banyak.

Ketiga: Yang haram itu jelas, yaitu telah ada dalil tegas dari Allah dan Rasul-Nya, atau ijmak kaum muslimin akan keharamannya secara langsung. Misalnya dalam firman Allah “wa harromar ribaa” dalam surah Al-Baqarah ayat 275. Yang termasuk keharaman yang sudah jelas adalah zina, minum khamar, bangkai, babi, menikahi yang masih punya hubungan mahram, riba dan judi yang termasuk pekerjaan yang haram.

Keempat: Perkara musytabihaat adalah perkara antara halal dan haram yang masih diragukan. Perkara ini tidak diketahui kebanyakan manusia antara halal dan haramnya. Hadits ini bukan maksudnya kebanyakan dari manusia tidak mengetahui kalau perkara ini musytabihaat. Mengenal hukum masalah ini bisa saja, tetapi hanya sedikit dari manusia yang mengetahuinya yaitu dari kalangan mujtahid (ahli berijtihad). Yang tidak mengetahui perkara musytabihaat ada dua kelompok yaitu:

  • Yang tawaqquf (berdiam diri) karena tidak mengetahui hukumnya.
  • Yang meyakini, tetapi tidak sesuai kenyataan.

Seorang mujtahid juga bisa jadi masih samar (isytibaah) tentang dalil tanpa bisa menguatkan antara dua dalil.

Adapun sebab terjadi kesamaran dalam memahami dalil karena:

  1. Dalil dianggap bertentangan, tidak dapat mengkompromikan (jam’ud daliil) dan tidak dapat melakukan tarjih (penguatan dalil). Ini dari sisi seorang mujtahid.
  2. Perbedaan ulama dalam memahami dalil perintah atau larangan. Para ulama berselisih pendapat dalam masalah perintah apakah dihukumi wajib ataukah sunnah. Begitu pula mereka berselisih dalam masalah larangan apakah haram ataukah makruh. Misalnya adalah perintah mandi Jumat, apakah wajib ataukah sunnah. Adapun dari sisi para muqallid (pengikut) ada perselisihan pendapat. Sikap wara’ (hati-hati) adalah tawaqquf (mencari jalan aman) dalam perkara syubhat, yaitu tetap melakukan mandi Jumat.
  3. Dalil yang masih sama dan belum sampainya pada seorang mujtahid karena hanya dinukil dari sedikit orang. Dalil tersebut barangkali tidak sampai pada kebanyakan ahli ilmu. Masalah ini masih jadi musytabihaat (samar) bagi seorang mujtahid. Ia baru bisa berfatwa jika ada dalil yang melarang ataukah membolehkan. Kelima: Siapa yang menjauhi syubhat dan membatasi diri, ia telah menjaga diri dan kehormatannya.

Keenam: Siapa yang terjerumus dalam yang syubhat, maka ia akan terjerumus dalam yang haram tanpa ia sadari. Siapa yang terjerumus dalam yang syubhat karena menganggap remeh, akhirnya ia dengan sengaja terjatuh dalam yang haram.

Ketujuh: “Sebagaimana ada penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya”, maksudnya yang banyak terjerumus dalam syubhat lama kelamaan, ia akan melakukan yang haram, akhirnya ia mendapatkan hukum lantaran itu.

Kedelapan: Syariat ini dibagi menjadi perkara halal, haram, dan syubhat.

Kesembilan: Perkara syubhat itu tetap ada yang mengetahui yaitu para ulama mujtahidin karena mereka memiliki ilmu yang berlebih. Adapun untuk para muqallid (hanya jadi pengikut), ia hanya mengikuti orang yang berilmu yang lebih berilmu dan lebih wara’. Pemilihan seperti ini akan lebih dekat pada kebenaran.

Kesepuluh: Hendaklah menjauhi perkara syubhat, yang masih diragukan antara halal dan haramnya. Sikap seperti ini lebih menunjukkan kehati-hatian dalam agama dan lebih menjaga kehormatan. Kehati-hatian dalam agama berarti terkait dirinya dengan Allah. Sedangkan lebih menjaga kehormatan artinya menghindarkan diri dari celaan manusia.

Kesebelas: Sebagian salaf mengatakan, مَنْ عَرَّضَ نَفْسَهُ لِلتُّهَمِ فَلَا يَلُوْمَنَّ مَنْ أَسَاءَ الظَّنَّ بِهِ “Siapa yang menjatuhkan diri dalam prasangka jelek orang, janganlah salahkan jika ada orang yang suuzhan padanya.”2

Kedua belas: Hendaklah setiap orang memperhatikan muruah, kehormatan diri.

Ibnu ‘Arafah menyatakan bahwa muruah adalah melakukan perkara mubah yang bila ditinggalkan akan mendapatkan celaan secara ‘urf atau meninggalkan perkara mubah yang bila dikerjakan akan mendapatkan celaan secara ‘urf.3

Ketiga belas: Pentingnya urusan hati, kita harus memperbaiki keadaan hati. Jika hati baik, segala sesuatu akan baik. Jika hati rusak, yang lainnya akan ikut rusak. Hati yang baik adalah dengan cinta dan rasa takut kepada Allah.

Keempat belas: Baiknya batin menunjukkan baiknya lahiriyah. Jeleknya batin menunjukkan jeleknya lahiriyah.

Kelima belas: Di antara jalan sampainya ilmu adalah dengan memberikan permisalan dan contoh.

Keenam belas: Bentuk zuhud dan wara’ adalah menjauhi perkara syubhat, mencukupkan dengan yang halal, dan menjauhi yang haram.

Semoga manfaat bagi kita semua, barakallah fiikum.

Referensi:

Footnotes

  1. (Muttafaqun ‘alaih) HR. Bukhari, no. 52 dan Muslim, no. 1599

  2. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, hadits no. 6

  3. Syarh Hudud Ibnu ‘Arafah, sumber dari dorar.net


Sumber:
1. Dari Al-Qur'an Al-Karim
2. Dari berbagai Kitab Islam
3. Dari berbagai tulisan Ustadz